Senin, 02 Desember 2013

STUDI KASUS WARGA NEGARA DAN NEGARA


Kemerdekaan kini punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan hanya merdeka sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan sang bunda, tanpa perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya.
Tanggal 11 Juli lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh DPR, menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia pelaku pernikahan campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan pengesahan itu pun langsung menyambutnya dengan gegap gempita.
Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang ironis, kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum minoritas yang selalu ’tertindas’ dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah menelan banyak korban, pun kini sedikit bisa terangkat.
Seperti yang diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita pelaku perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu, memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari bidang hukum, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan permasalahan tersendiri, dimana kebebasan seseorang untuk memiliki hak untuk mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotak-kotak lantaran pembatasan dari peraturan perundang-undangan tersebut.
OPINI : menurut saya anak yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan berbeda dan masih di bawah umur. Dan setelah ia beranjak dewasa maka saat itulah ia bisa menetukan pilihannya sendiri yang akan mengikuti kewarganegaraan salah satu dari orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar