Kemerdekaan kini
punya makna baru bagi anak-anak hasil perkawinan campur. Bukan hanya merdeka
sebagai warga negara, tapi mereka juga bebas untuk berdekatan dengan sang
bunda, tanpa perlu secarik kertas sebagai bukti legalitasnya.
Tanggal 11 Juli
lalu mungkin merupakan moment yang sangat penting bagi wanita Indonesia yang
menikah dengan pria asing, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru oleh
DPR, menggantikan UU Kewarganegaraan no. 62 tahun 1958. Para wanita Indonesia
pelaku pernikahan campur, yang saat itu berada di Gedung DPR untuk menyaksikan
pengesahan itu pun langsung menyambutnya dengan gegap gempita.
Bagaimana tidak?
Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak
yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang
ironis, kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap
sebagai kaum minoritas yang selalu ’tertindas’ dan tidak punya kekuatan hukum
di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung
bertahun-tahun dan telah menelan banyak korban, pun kini sedikit bisa
terangkat.
Seperti yang
diketahui, bahwa dibawah UU Kewarganegaraan yang lama, para wanita pelaku
perkawinan campuran, dan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu,
memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan posisi dari segi hukum, baik dari
bidang hukum, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini jelas saja merupakan
permasalahan tersendiri, dimana kebebasan seseorang untuk memiliki hak untuk
mementukan piluhan kewargaganegaraan menjadi terkotak-kotak lantaran pembatasan
dari peraturan perundang-undangan tersebut.
OPINI : menurut saya anak yang lahir dari orang tua yang memiliki
kewarganegaraan berbeda dan masih di bawah umur. Dan setelah ia beranjak dewasa
maka saat itulah ia bisa menetukan pilihannya sendiri yang akan mengikuti
kewarganegaraan salah satu dari orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar