Senin, 18 November 2013

Agama dan Masyarakat



Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para Tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makana hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat.
Membicarakan peran agama dalam kehidupan sosial mencakup dua hal yang sudah tentu hubungannnya erat, memiliki aspek-aspek terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan group sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencangkup perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya. Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normatif atau menunjukan kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial secara kultural., hancurnya bentuk sosial dan kultural lama. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna, dan masing-masing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang di hadapinya.
Di samping ada gerakkan yang menawarkan nilai-nilai dan solidaritas baru, ada juga tampil pola-pola sosial untuk mencari jalan keluar dari pengalaman yang mengecewakan anomi,  menentang sumber yang nyata dan mencoba mengambil upaya pelarian yang telah disediakan oleh situasi, seperti narkotika, alkohol, kelompok hippies, dll.

1.       FUNGSI AGAMA
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarkat ada 3 aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian.
Sebagai kerang acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Lembaga yang demikian kompleks ini secara keseluruhan merupakan sistem sosial, dimana setiap unsur dari kelembagaan itu saling tergantung dan menetukan semua unsur lainnya. Dalam pengertian lembaga sosial yang demikian, maka agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga.
Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan, norma-norma, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain. Kemudian agama dengan referensi transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan.
Teori fungsional melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yangdapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tatapi tidak mengutik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendental.
Aksioma teori fungsional agama adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada mempunyai fungsi bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangkaacuan yang bersifat sakral, maka normanyan pun dikukuhkan pada sanksi-sanksi sakral. Sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumnya bersifat duniawi, supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat ia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson (1984) diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi.
a)      Dimensi keyakinan mengandung harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertenu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b)      Prakek agama mencakup perbuatan memuja dan berbakti.
c)       Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
d)      Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e)      Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

2.       PELEMBAGAAN AGAMA
Agama begitu universal, permanen dan mengatur dalam kehidupan. Sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat.
Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima sebagai dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan dua tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954).
a.       Masyarakat yang terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama meyusup kedalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya  :
·         Agama memasukkan pengaruhnyayang sakral kedalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
·         Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang.
b.      Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan.

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemiskinan

“Ilmu pengetahuan” lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari 2 kata, “ilmu” dan “pengetahuan”, yang masing-masing mempunyai identitas sendiri-sendiri. Dalam membicarakan “pengetahuan” saja akan menghadapi berbagai masalah,seperti kemampuan indera dalam memahami fakta pengalaman dan dunia realitas, hakikat pengetahuan, kebenaran, kebaikan, membentuk pengetahuan, sumber pengetahuan, dsb.
Keperluan sekarang adalah pengetahuan ilmiah yang harus ditingkatkan karena pengetahuan, perbuatan, ilmu, dan etika makin saling bertautan. Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada kehebatan teknologi itu sendiri.
Schumacher, dalam Kecil itu Indah, dunia moderen yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan napas dan melemahkan badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan, bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Kemisikinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai perjuangan yang akan memperoleh kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hal itu sudah sejak lama oleh sarjana ekonomi di banyak negara digeluti dan dipecahkan, dan setiap kali pula pemecahann lolos dari genggaman dan berkembang menjadi masalah baru.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dibebaskan dan dipisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi, interelasi, interdependensi, dan ramifikasi (percabangannya). Dengan demikian wajarlah apabila menghadapi masalah yang kompleks ini, memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner kalau tidak mau mencampuradukkan unsur-unsur sintesis dengan sintesisnya sendiri.
1.      ILMU PENGETAHUAN
Dikalangan ilmuan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum, dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes, ilmu pengerahuan merupakan serba budi. Oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antar budi dan pengalaman. Dan teori Phyroo mengatakan, bahwwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan.
Untuk membuktikan apakah isi pengethuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandang yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirikan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah, yang meliputi empat hal yaitu :
  1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga menacapi pengetahuan ilmiah yang obeyktif.
  2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
  3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap indera dam budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
  4. Merasa pasti bahwa setiap  pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalah ilmu ppengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya.
2.      TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan (body ofknowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of arts ) yang mengandung pengetian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknoogi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah merode sistematis untuk mencapai tujuan insani (Eugene Stanley, 1970).
Teknologi memperlihatkan fenomenanya alam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “the technological society” (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun artinya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas  metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Jadi teknologi penurut Ellul adalah berbagai usaha, metode dan cara untuk memperoleh hasil yang distandarisasi dan diperhingkan sebelumnya.
Fenomena teknik paa masyarakat ikini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagia berikut :
a)      Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b)      Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c)      Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis  menjadi kegiatan teknis.
d)      Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.
e)      Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f)       Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g)      otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang dengan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik digambarkan oleh Ellul sebagaia berikut :
a)      Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi.
b)      Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer.
c)      Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Alvin Tofler (1970) mengumpakana “teknologi” itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselarator (alat pemercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualtiatif, maka kiat meningkat pula proses akselerasi yagn ditimbulkan oleh mesinpengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan.
3.      KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll (Emil Salim, 1982). Garis kemiskinan yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal :
a)      Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
b)      Posisi  manusia dalam lingkungan sekitar
c)      Kebutuhan objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal ini garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah benilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan yang dialaminya.
Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa dan tertuangkan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang dipelrukan, sehingga garis kemiskinan di tentukan oleh tingkat pendapatan minimal (versi Bank Dunia di kota 75 Dolar AS, dan di desa 50 Dollar AS per jiwa setahun, 1973)
Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a)      Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsb.
b)      Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c)      Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat SD karena harus membantu orang tua untuk menambah penghasilan.
d)      Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas.
e)      Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak memiliki keterampilan.
Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan kedalam tiga unsur :
1)      Kemiskinan yang disebabkan mental seseorang.
2)      Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam.
3)      Kemiskinan buatan.
Yang  relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut kemiskinan struktural. Itulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur  buatan manusia, baik struktur ekonomi, politik, sosial maupun kultur.
Selain disebabkan oleh hal – hal tersebut, juga dimanfaatkan oleh sikap “penenangan” atau “nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan. Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan atau suatu subkultur, yang mempunyai struktur dan way of life yang telah turun-temurun melalui jalur keluarga. Kemiskinan (yang membudaya) itu disebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, dsb. Obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikal dan meluasnya.




Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat



Pertentangan sosial di dalam masyarakat merupakan salah satu konflik yang biasanya timbul dari berbagai faktor-faktor sosial yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Pertentangan sosial ataupun konflik adalah salah satu konsekuensi dari adanya perbedaan dan tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat misalnya peluang hidup, gengsi, hak istimewa, dan gaya hidup. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan pertentangan sosial :

1.      Perbedaan Kepentingan
Perbedaan kepentingan sebenernya merupakan sifat naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok agama, kelompok ideology tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas. Maksudnya adalah pendapat atau kepentingan sesorang yang berbeda dengan yang lainnya. Terkadang bisa menyebabkan perdebatan yang bisa berakhir secara damai aau sebaliknya berakhir secara anarkis.
Namun jika dicermati, perbedaan kepentingan dapat disiasati dengan saling bertoleransi dan meningkatkan solidaritas antar masyarakat agar bisa tetap hidup berdampingan dalam suasana yang harmonis.

2.      Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka merupakan dasar pribadi seseorang yang setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sikap bermusuhan sudah nampak. Prasangka selalu ada pada mereka yang berfikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana, dan pemimpin atau negarawan. Prasangka dan diskriminasi ini merupakan tindakan yang dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan dan bahkan integrasi masyarakat. Dalam kaitan dengan dasar kebutuhan pribadi, prasangka menunjukkan pada aspek sikap. Sedangkan untuk diskriminasi menunjukkan pada aspek-aspek tindakan.

Menurut Gordon Allproc (1958) ada 5 pendekatan dalam menentukan sebab terjadinya prasangka:
·         Pendekatan Historis
Didasarkan atas teori Pertentangan Kelas yaitu menyalahkan kelas rendah yang imperior,   dimana mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alasan untuk berprasangka terhadap kelas rendah).
·         Pendekatan Sosio Kultural dan Situasional
Meliputi mobilitas sosial, konflik antar kelompok, stigma perkantoran dan sosialisasi.
·         Pendekatan Kepribadian
Teori ini menekankan kepada faktor kepriadian sebagai penyebab prasangka (Teori Frustasi Agresi).
·         Pendekatan Fenomenologis
Ditekankan bagaimana individu memandang/mempersepsikan lingkungannya, sehingga persepsilah yang menyebabkan prasangka.
·         Pendekatan Naive
Menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti objek prasangka dan tidak menyoroti individu yang berprasangka.

3.      Ethnosentrisme dan Stereotype
Etnosentrisme merupakan sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan menggunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri. Dan diajarkan kepada anggota kelompok secara sadar atau tidak, bersama-sama dengan nilai kebudayaan.
Sedangkan stereotype merupakan suatu tanggapan dan anggapan yang bersifat jelek dan tantangan mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang/golongan lain yang bercorak negatif sebagai akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya subjektif.

4.      Konflik dalam Kelompok
      Konflik cenderung menimbulkan respon-respon yang bernada ketakutan atau kebencian. Konflik dapat memberikan akibat yang merusak terhadap diri seseorang, anggota kelompok. Konflik dapat mengakibatkan kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok.
Ada 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik:
·         Terdapat 2 atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat konflik.
·         Unit tersebut mempunyai perbedaan yang tajam (kebutuhan, tujuan, masalah, nilai, sikap dan gagasan).
·         Terdapat interaksi diantara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.

Adapun cara-cara memecahkan konflik :
1)      Elimination : yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yang diungkapkan dengan “kami mengalah”, “kami keluar”, “kami membentuk kelompok kami sendiri”.
2)      Subjugation/Domination : yaitu pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa pihak lain untuk mentaatinya.
3)      Majority Rule : yaitu sura terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menetukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
4)      Minority Consent : yaitu kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
5)      Compromise : yaitu semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
6)      Integration : yaitu pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.

5.      Integrasi Masyarakat dan Nasional
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadapa kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap memperthankan kebudayaan mereka masing-masing.

a)      Bentuk Integrasi Sosial
·         Asimilasi yaitu pembauran kebudayaan yang disertai dengan ciri khas kebudayaan asli.
·         Akulturasi yaitu penerimaan sebagai unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.
b)      Faktor-faktor terjadinya masalah sosial
1)      Faktor Internal
·         Kesadaran diri sebagai makhluk sosial.
·         Tuntutan kebutuhan.
·         Jiwa dan semangat gotong royong.
2)      Faktor External
·         Tuntutan perkembangan zaman.
·         Persamaan kebudayaan.
·         Terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama.
·         Persamaan visi, misis, dan tujuan.
·         Sikap toleransi.
·         Adanya kosensus nilai.
·         Adanya tantangan dari luar.
c)      Syarat berhasilnya Integrasi Nasional
·         Untuk meningkatkan Integrasi Sosial, maka pada diri masing-masing harus mengendalikan perbedaan/konflik yang ada pada suatu kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya.
·         Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi kebutuhan antara satu  dengan yang lainnya.

Integrasi Nasional
Adalah kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga-lembaga masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan.
Integrasi Nasional akan lahir jika Integrasi Sosial dalam masyarakat berjalan dengan baik. Kesempurnaan dalam Integrsi Sosial sebuah masyarakat akan membentuk kekuatan suatu bangsa. Perbedaan pendapat, keyakinan, suku, ras, dan budaya dapat diatasi dengan tingginya solidaritas dan tenggang rasa antar masyarakat. Sudah barang tentu integrasi nasional akan terbentuk dengan sendirinya.