Senin, 18 November 2013

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemiskinan

“Ilmu pengetahuan” lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari 2 kata, “ilmu” dan “pengetahuan”, yang masing-masing mempunyai identitas sendiri-sendiri. Dalam membicarakan “pengetahuan” saja akan menghadapi berbagai masalah,seperti kemampuan indera dalam memahami fakta pengalaman dan dunia realitas, hakikat pengetahuan, kebenaran, kebaikan, membentuk pengetahuan, sumber pengetahuan, dsb.
Keperluan sekarang adalah pengetahuan ilmiah yang harus ditingkatkan karena pengetahuan, perbuatan, ilmu, dan etika makin saling bertautan. Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada kehebatan teknologi itu sendiri.
Schumacher, dalam Kecil itu Indah, dunia moderen yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan napas dan melemahkan badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan, bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Kemisikinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai perjuangan yang akan memperoleh kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hal itu sudah sejak lama oleh sarjana ekonomi di banyak negara digeluti dan dipecahkan, dan setiap kali pula pemecahann lolos dari genggaman dan berkembang menjadi masalah baru.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dibebaskan dan dipisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi, interelasi, interdependensi, dan ramifikasi (percabangannya). Dengan demikian wajarlah apabila menghadapi masalah yang kompleks ini, memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner kalau tidak mau mencampuradukkan unsur-unsur sintesis dengan sintesisnya sendiri.
1.      ILMU PENGETAHUAN
Dikalangan ilmuan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum, dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes, ilmu pengerahuan merupakan serba budi. Oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antar budi dan pengalaman. Dan teori Phyroo mengatakan, bahwwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan.
Untuk membuktikan apakah isi pengethuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandang yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirikan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah, yang meliputi empat hal yaitu :
  1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga menacapi pengetahuan ilmiah yang obeyktif.
  2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
  3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap indera dam budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
  4. Merasa pasti bahwa setiap  pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalah ilmu ppengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya.
2.      TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan (body ofknowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of arts ) yang mengandung pengetian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknoogi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah merode sistematis untuk mencapai tujuan insani (Eugene Stanley, 1970).
Teknologi memperlihatkan fenomenanya alam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “the technological society” (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun artinya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas  metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Jadi teknologi penurut Ellul adalah berbagai usaha, metode dan cara untuk memperoleh hasil yang distandarisasi dan diperhingkan sebelumnya.
Fenomena teknik paa masyarakat ikini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagia berikut :
a)      Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b)      Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c)      Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis  menjadi kegiatan teknis.
d)      Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.
e)      Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f)       Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g)      otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang dengan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik digambarkan oleh Ellul sebagaia berikut :
a)      Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi.
b)      Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer.
c)      Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Alvin Tofler (1970) mengumpakana “teknologi” itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselarator (alat pemercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualtiatif, maka kiat meningkat pula proses akselerasi yagn ditimbulkan oleh mesinpengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan.
3.      KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll (Emil Salim, 1982). Garis kemiskinan yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal :
a)      Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
b)      Posisi  manusia dalam lingkungan sekitar
c)      Kebutuhan objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal ini garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah benilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan yang dialaminya.
Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa dan tertuangkan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang dipelrukan, sehingga garis kemiskinan di tentukan oleh tingkat pendapatan minimal (versi Bank Dunia di kota 75 Dolar AS, dan di desa 50 Dollar AS per jiwa setahun, 1973)
Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a)      Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsb.
b)      Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c)      Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat SD karena harus membantu orang tua untuk menambah penghasilan.
d)      Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas.
e)      Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak memiliki keterampilan.
Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan kedalam tiga unsur :
1)      Kemiskinan yang disebabkan mental seseorang.
2)      Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam.
3)      Kemiskinan buatan.
Yang  relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut kemiskinan struktural. Itulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur  buatan manusia, baik struktur ekonomi, politik, sosial maupun kultur.
Selain disebabkan oleh hal – hal tersebut, juga dimanfaatkan oleh sikap “penenangan” atau “nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan. Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan atau suatu subkultur, yang mempunyai struktur dan way of life yang telah turun-temurun melalui jalur keluarga. Kemiskinan (yang membudaya) itu disebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, dsb. Obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikal dan meluasnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar